Web Archive

Jangan yah...!!

Tampilkan postingan dengan label Habib Munzir Bin Fuad AlMusawa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Habib Munzir Bin Fuad AlMusawa. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 September 2010

Aku Mencintaimu

Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

kebahagiaan dan Kesejukan Rahmat Nya semoga selalu menaungi hari hari anda.

Saudaraku yg kumuliakan, salam rindu untuk anda, kita akan berjumpa insya Allah, 17 juni 2010 yg akan datang guru mulia akan hadir di Monas insya Allah dalam majelis dan dzikir akbar.

mengenai pendosa ini saudaraku, saya keberatan dg tugas yg sangat berat ini, saya tak berani berdoa minta umur panjang lagi, jamaah semakin banyak, tiap malam majelis dihadiri 10 ribu hingga 50 ribu jamaah di wilayah sekitar jakarta yg saya kunjungi, ribuan tangan terulur tak bisa saya salami, desakan jamaah, anak anak terhimpit, orang orang tua terlempar, ibu ibu terpental, para kyai tersingkir, semua hanya karena semangat jamaah untuk menyalami, maka tim pengawalan dari crew kami memang ada, tapi saya selalu menghardik mereka pula agar jangan kasar pd massa, merekapun berjuang tiap malam membentengi saya dg tdk terlalu ketat, asal saya bisa lewat saja tanpa menghalangi jamaah yg inin bersalaman, namun usaha demi usaha semakin hari massa semakin banyak, lalu siapa yg akan menanggung dosa ini?

saya harus berhadapan dg pelbagai golongan masyarakat, diantara hadirin ada para shalihin, ada para kyai dan ulama, ada para habaib, ada para pendosa, pezina, penjudi, narkoba, karyawan, pelajar, pria, wanita, anak kecil, orang tua, lalu saya harus konsentrasi penuh untuk bisa menyampaikan tausiyah yg mengena ke seluruh golongan ini agar semua bisa mendapat manfaat, 1 x setahun saja bertugas seperti ini perlu persiapan berbulan bulan untuk konsentrasi bahan, konsentrasi khusyu, konsentrasi ketenangan jiwa, konsentrasi membaca situasi, bagaimana kalau ini berlangsung tiap malam?

Allah swt memberi kekuatan pd saya, karena jika tidak maka kepala sudah pecah menahan beban ini semua, namun semakin hari saya semakin suram, bingung, risau, takut..

mungkin sebagian orang melihat alangkah hebat dan nikmatnya disanjung dan dipuja sedemikian banyak orang, namun pribadi ini sebaliknya, alangkah susahnya dan beratnya menghadapi sanjungan banyak orang,

bagaimana harus menjaga perasaan para ulama yg lebih sepuh yg terlempar saat akan menyalami saya, betapa hancur hatinya, bagaimana perasaan orang yg datang dari jauh jauh sampai berjam jam perjalanan menuju majelis, namun saat tangannya terulur ia terdesak jatuh ke kali atau terinjak injak massa, bagaimana menjaga perasaan orang orang yg baru saja tergugah untuk tobat, lalu ia menangis memeluk saya dan ia disingkirkan oleh crew karena perbuatan itu membuat ratusan lainnya ingin berbuat hal yg sama,

satu orang menyodorkan kepalanya dengane membuka pecinya untuk dicium pendosa ini, ratusan lainyya berlompatan pula ingin mendapat hal yg sama.

sedangkan 1 muslim yg hancur hatinya kecewa bisa membuka pintu kemurkaan Allah swt, lalu bagaimana nasib pendosa ini..?, apa yg harus saya perbuat..?

mobil saya bagian kiri sudah penyok2 dan bergurat2 karena dahsyatnya desakan jamaah, sampai pengendara mobil mengadu, kalau habib sudah mendekat ke mobil, maka mobil ini bagai diatas laut terguncang guncang oleh desakan jamaah, mobil saya sedan, bukan mobil minibus yg mudah bergoyang, mobil berderak derak bagai ditindih beban berat jika saya sudah mendesak ke mobil, berkali kali pintunya rusak terkena desakan jamaah,

mobil meluncur, anda kira masalah selesai?, tangan rapuh ini sudah terasa pedas ditarik2 dan sering luka terkena kuku para pemuda yg mungkin tak sadar perbuatannya melukai saya, dan saya ridho saja, luka itu menghapus dosa ini, biar tangan saya yg luka jangan hati orang itu yg luka..

saya hanya mengurut urut tangan dimobil, masalah belum selesai, mereka terus mengejar dg puluhan motor dari belakang, begitu terkena lampu merah, maka mereka turun meninggalkan motornya ditengah jalan berebutan lagi menyalami dari jendela mobil, saya tak tega tak membuka kaca untuk seorang tamu Allah yg tidak minta apa apa, cuma minta bersalaman saja, apakah saya berani menolaknya?,

jika mereka minta nyawa saya untuk mau hadir di majelis sekali saja, saya akan korbankan, jika mereka minta meludahi wajah saya dan menginjak kepala saya ditanah untuk syarat agar mereka mau hadir akan saya lakukan, lalu ini yg diminta cuma ingin bersalaman.....

apa jadinya?, mobil2 dan motor umum menjadi menonton terheran heran, sebagian ketakutan, mereka kira ada tauran, melihat puluhan motor parkir sembarangan dilampu merah dan puluhan orang berlarian ditengah jalan mengejar kearan mobil saya, lampu hijau sudah menyala, mereka masih malang melintang ditengah jalan untuk menyalami,

sebagian menyusul dg motor ingin bersalaman dalam keadaan kendaraan sama sama berjalan, lalu berteriak teriak : habib saya cinta habib.., doakan saya.., saya tiap malam hadir majelis habib..,

begitu nasib saya tiap malam..

pulang kerumah tubuh serasa hancur lelah, sedih dan risau pula atas mereka yg kecewa, dan berfikir teringat hari esok hal ini akan terulang lagi, lagi, dan lagi..

namun jika saya teringat perjuangan Rasul saw saya trenyuh dan isntighfar, Nabi saw dulu orang orang berebutan dan berdesakan mengejar beliau untuk diludahi wajah beliau saw dan dilempari kotoran binatang dan batu.., lalu kau munzir pendosa mengeluh dengan keadaan ini..?

saya tak tahu sampai kapan saya bisa bertahan.., tidak tahu harus berbuat apa, berdoa panjang umur atau berdoa segera jumpa Rasul saw..

tangan penuh dosa ini berharap keridhoan Nya swt dengan membantu bermunajat kepada Mu wahai Rabb pemilik jiwaku dan jiwa Muhammad saw, agar Engkau kabulkan harapan saudaraku ini dan istrinya, hingga ia bahagia dan gembira dengan segenap pengabulan atas hajatnya, dan ia memuji syukur kepada Mu Rabbiy, salahkah bila aku berharap hamba Mu bersyukur dan memuji Mu Rabb..

maka kabulkanlah munajat hamba Mu ini, jadikan mereka berdua bersyukur dan menyaksikan kedermawanan Mu Rabbiy.., Demi Sayyidina Muhammad Nabiy pembawa Rahmat .., amiin.
semoga Allah swt melimpahkan keberkahan dan membuka pintu pintu kemudahan pada anda saudaraku dalam mencari nafkah di Bumi Nya, Rabbiy curahkan padanya kemakmuran.., amin

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,

Wallahu a'lam

http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=25346&catid=9

Do'akan selalu untuk kesembuhan beliau .

Malam Minggu Bersama Habib

Rohim, 19 tahun, dengan kopiah putih serta baju dan celana koko putih, mau menghabiskan malamnya bersama habib. Ia memang selalu ingin bersama habib, yang diyakini sebagai keturunan Rasulullah melalui putrinya, Fatimah az-Zahra, dan menantunya, Ali bin Abi Thalib. Di rumah, gambar sang habib yang berkacamata minus, berjubah, dan bersorban putih menghiasi pintu kamarnya. Di jalan, gambar habib yang sama menemani nya, melekat pada tangki bensin sepeda motornya.

Senin malam terakhir sebelum Lebaran, dalam konvoi sepeda motor yang panjang, Rohim melesat cepat. Jaket hitam yang dikenakannya dengan sulaman benang emas Majelis Rasulullah pada punggungnya menyala di gelap malam. Duduk di belakangnya, Yakub, seorang anak tetangga sesama penduduk Jagakarsa yang masih seusia dengannya, memegang bendera hijau bertuliskan Majelis Rasulullah dalam aksara Arab.

Jaket hitam, kopiah putih, dan bendera yang bergelombang gagah merupakan lambang identitas anak-anak muda yang melupakan hedonisme remajanya, seraya menghabiskan malam Selasa bersama habib. Dan harus diakui, ini juga merupakan simbol menyebalkan bagi pengemudi metromini dan ribuan komuter para penduduk Depok, Bogor, Cimanggis, dan sekitarnya yang telah lelah bekerja tapi harus berjuang menembus hiruk-pikuk jalanan ini.

"Ngaji kok nyusahkan orang, dasaaar...," sopir metromini berlogat Jawa Timur memaki. Ia tak menyelesaikan kalimatnya, tapi meng injak gas dan rem silih berganti. Rohim, Yakub, dan kawan-kawannya tidak mengendarai sepeda motor secara ugal-ugalan. Tapi, seperti melihat pendukung kesebelasan lokal, Jakmania, yang bergerak berkelompok, sopir ini berusaha menghindari tiap benturan dengan anak-anak muda yang memacu sepeda motor sonder helm itu.

Sang habib memang sosok populer. Gambarnya tampak di mana-mana: dari baliho yang mencolok berisi undangan pengajian di pinggir-pinggir jalan strategis, hingga dinding rumah penduduk yang bersembunyi di gang-gang sempit. Tidak memiliki majelis yang menetap awalnya, habib ini lalu mengandalkan sebuah masjid jami masjid yang biasa dipakai untuk sembahyang Jumat sebagai basis dakwah nya di Pancoran, Jakarta Selatan. Dan manakala pengikut majelis yang dibina sejak 1998 ini berkembang menjadi ribuan, puluhan, bahkan ratusan ribu orang, tidak bisa tidak terganggulah lalu lintas di daerah sepanjang masjid itu. Kendaraan padat merayap di jalan depan masjid, dua sisi, hingga satu kilometer. Area rumah toko di kanan-kiri masjid pun menjadi tempat parkir dadakan.

Dia Habib Munzir bin Fuad al-Musawa. Usianya 37 tahun. Dakwah yang dulu dilakoninya secara bersahaja dari rumah ke rumah itu sekarang telah menjadi sebuah pohon besar yang bercabang banyak. Habib Munzir berceramah di sepanjang pantai utara dan pantai selatan Jawa, terus meluas ke Bali, Nusa Tenggara Barat, Papua, bahkan Singapura, Johor, dan Kuala Lumpur. Majelis Rasulullah sendiri mengisi acara bim bingan rohani di gedung-gedung perkantoran dan di stasiun-stasiun televisi. Sebuah kios didirikan persis di belakang Masjid Al-Munawar, menjual aneka aksesori Majelis Rasulullah.

Belajar bahasa Arab dan kemudian syariah dari beberapa habib ternama yang menguasai bidang itu di Jakarta, Munzir mengikuti tradisi panjang para habib: belajar agama di Hadra maut. Hadramaut belakangan menjadi destinasi belajar agama yang memikat bagi para pelajar yang berasal dari Indonesia, karena Mekah sudah mengurangi jatah beasiswa bagi mahasiswa asing. Maka, di pesantren Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut, di bawah bim bingan langsung Guru Besar Habib Umar bin Hafidz, ia mendalami ilmu fikih, tafsir Quran, ilmu hadis, sejarah, tauhid, tasawuf, dakwah, dan syariah.

"Habib Umar bin Hafidz secara eksplisit melarang murid-muridnya berdemonstrasi atau ikut politik praktis," kata Ismail Fajrie Alatas, sejarawan, kandidat doktor University of Michigan, Ann Arbor, Amerika Serikat, yang memperhatikan diaspora orang-orang Hadrami di Asia Tenggara. Habib Umar mengajarkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Allah dan Rasul tetap merupakan rujukan paling substansial. Namun ia tidak mengizinkan murid-muridnya mengkritik keras mazhab yang tidak sehaluan dengannya.

Habib Umar menekankan kesalehan individu, dan hasilnya bisa dilihat pada Munzir al-Musawa, bekas murid Ma'had Darul Mustafa dengan ceramahnya yang banyak menawarkan tasawuf dalam kemasan populer itu. "Saya berdakwah dengan mengenalkan kelembutan Allah dan rasul-Nya yang jarang dibahas oleh para dai masa kini," kata Habib Munzir al-Musawa.

Habib Munzir tak berhenti di situ. Baliho, umbul-umbul, drum band, live streaming video yang memungkinkan audiens lebih luas menyaksikan acara yang tengah berlangsung di Majelis Rasulullah, dan perencanaan matang layaknya yang dilakukan sebuah event organizer dikerahkan serentak. Mereka menawarkan gabungan antara dakwah dan showmanship. "Masjid dan halaman penuh, sampai jalanan," kata Taufik, orang Majelis Rasulullah, salah satu anggota panitia dalam acara Senin malam di Masjid Al-Munawar.

Satu ruas Jalan Pasar Minggu Raya mendadak jadi pasar malam. Maka terbentanglah arena jual-beli sepanjang 500 meter, dipenuhi pedagang yang menjual aneka rupa perlengkapan pengajian, dari kopiah, tasbih, gamis, sampai minyak wangi. Dua puluh ribu orang dalam acara malam Selasa, satu juta orang dalam acara spesial seperti malam Nuzul Quran di lapangan Monumen Nasional, Kamis malam dua pekan lalu, begitulah kesimpulan Taufik.

Tidak semua anak muda Ibu Kota lantas jatuh hati kepada Habib Munzir. Di bilangan Kebagusan, Pasar Minggu, seorang habib telah memulai langkahnya dengan kemasan yang tak kalah memukau. Membidik segmen yang sama, Habib Hasan bin Ja'far Assegaf, pendiri Majelis Nurul Musthofa, di kawasan ini, memang berusaha meyakinkan anak-anak muda bahwa menghabiskan malam Minggu di majelis taklim itu tidak membosankan. Maka, tiap malam Minggu, mereka bergerak dari satu tempat ke tempat lain. "Bisa puluhan ribu orang datang," kata Habib Abdullah bin Ja'far, Ketua Yayasan Nurul Musthofa, adik Habib Hasan bin Ja'far Assegaf.

Raungan arak-arakan sepeda motor dan letusan petasan biasa mengawali majelis taklim yang ajarannya berpusat pada gagasan yang berkembang di kalangan habaib ini: cinta Allah dan Rasul. Meniru gaya Wali Songo yang banyak memberikan tempat untuk budaya lokal, ia pun mengatakan, " Syiar harus mengetahui apa yang disukai (umat)." Mungkin bisa dipahami mengapa Habib Hasan bin Ja'far Assegaf, 33 tahun, yang menimba ilmu dari Pondok Pesantren Darul Hadits di Malang, Jawa Timur, kemudian suka menyitir cerita tentang wali dalam dakwahnya. Dan ini berbeda dengan Habib Munzir, yang berpendidikan Hadramaut dan gemar berkisah tentang keteladanan dalam keluarga Rasul.

Sama-sama berusia di bawah 40 tahun, punya karisma tinggi, kedua habib sadar akan kemasan dan teknologi. Dua majelis taklim besar di Jakarta dan sekitarnya itu mempunyai website dengan informasi lengkap, seperti jad wal majelis, kajian, dan perangkat identitas dari jaket sampai helm. Website kedua majelis itu misalnya bisa diakses di www.majelisrasulullah.org dan nurulmusthofa.org. Dari pemantauan, kedua website cukup rutin di-update, sedikitnya sepekan sekali.

Habib Abdullah bin Ja'far Assegaf dari Yayasan Nurul Musthofa menggambarkan hubungan kedua majelis ini sangat positif. "Tepatnya berlomba dalam kebaikan. Majelis lain sukses, kita juga harus bisa," katanya. Seandai nya terjadi ketegangan di tengah jalan, Habib Munzir punya resep mujarab untuk mengatasinya. "Dengan metode Nabi: berakhlak baik kepada semua, mencium tangan orang yang lebih tua, banyak tersenyum, dan tidak berat untuk memuji dan memuliakan orang lain walau di majelis saya sendiri, maka kita tak punya musuh," katanya.

l l l

Ramadan tak lama lagi berakhir, dan Yakub, si pemegang bendera, menjadi sibuk luar biasa. Sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, malam-malamnya diisi dengan agenda kegiatan yang demikian padat: di kawasan Empang Bogor pada 21 Ramadan malam, di makam Habib Kuncung, Kalibata, pada 22 Ramadan malam, di majelis Al-Hawi di Condet pada 23 Ramadan malam, di Kwitang pada 25 Ramadan malam, dan di Pekojan (Hb. Ibrahim Kramat Pulo) pada 27 Ramadan malam. Seperti ayahandanya, Yakub pengunjung setia majelis taklim habaib yang tersebar di Jakarta dan Bogor. Kegiatan sepanjang sepuluh malam terakhir Ramadan ini diawali dengan membaca ratib bersama, kemudian membaca asmaul husna, mendengarkan tausiah, salat isya, dan ditutup dengan tarawih bersama.

Dan satu lagi, demi menjaga perasaan hadirin di majelis-majelis tradisi onal itu, ia cukup mengenakan kopiah putih dan setelan baju koko putih, tanpa jaket hitam kebanggaan pengikut pengajiannya. Yakub sengaja menghindari eksklusivitas kelompok. Dengan begitu, ia mudah berbaur dengan massa dari majelis lain yang mengharapkan kedatangan lailatulkadar. Yakub telah menjalankan tradisi turun-temurun keluarganya dan ia telah memperlihatkan sebuah local wisdom dalam keputusannya itu.

l l l

Rohim dan Yakub dari Jagakarsa, Taufik dari Kalibata, semua bergerak mendekati nukleus yang berdaya tarik besar: Munzir al-Musawa, Hasan bin Ja'far Assegaf, dan sejumlah habib lain. Delapan dasawarsa silam, seorang habib kelahiran Betawi yang mengenyam pendidikan agama di Hadramaut dan Hijaz pulang kampung dan mulai melakukan sesuatu yang rutin, sederhana, tapi berakibat besar.

Ia seorang pedagang yang berdomisili di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat. Pagi-pagi sang habib sudah membuka tokonya yang terletak di Tanah Abang. Melayani pembeli dan kebutuhan lainnya, Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi kemudian bersiap-siap pulang ketika matahari tinggi, pukul 11.00-12.00. Ya, ia pulang, tapi tidak langsung ke rumah. Mengendarai kuda, ia bergerak sampai jauh, dari kampung ke kampung, menawarkan dagangannya, sembari berbincang-bincang mengenai pelbagai masalah agama dengan kiai-kiai setempat.

Bertahun-tahun ia menjalani rutin itas ini sampai akhirnya terbentuklah jaringan yang luas, dan terbitlah gagas an untuk membangun sebuah majelis taklim yang menjadi wadah tempat kiai-kiai lokal itu membawakan pidatonya. Waktu dan tempat ditetapkan, Minggu pagi, di Kwitang, dan sejak itu berlangsunglah tradisi hadir tiap Ahad pagi di tempat yang sama, hingga kini. Dan saking populernya pengajian ini, tak ada kiai di Betawi yang menyelenggarakan pengajian pada Minggu pagi.

Habib Ali al-Habsyi dikenal dengan panggilan Habib Ali Kwitang adalah sosok yang paling berjasa mempopulerkan maulud di Jakarta. Maulud adalah teks yang bercerita tentang kelahiran Nabi yang selalu dibacakan dalam aneka peristiwa penting, seperti kelahiran dan sunatan. Maulud menjadi penting karena naskah ini juga menyentuh satu konsep teologi bahwa Tuhan meletakkan nur Muhammad sebagai sebuah ciptaan yang merupakan awal dari segala makhluk, karena ia manifestasi dari cahaya Tuhan sendiri. "Maka orang Betawi dulu, kalau bikin maulud, harus ada habib. Belum ada habib belum afdal," kata Ismail Fajrie Alatas.

l l l

Dua puluh ribu orang dalam pengajian harian, sejuta orang dalam pengajian-pengajian istimewa, seperti maulud, Nuzul Quran, dan Isra Mikraj. "Cara mereka berdakwah itu menunjukkan ada kecocokan di tengah-tengah masya rakat, sehingga masyarakat mau berduyun-duyun datang ke majelis-majelis mereka," kata Menteri Agama Surya dharma Ali. Tidak dimobilisasi, tidak diberi bus, tidak dikasih makan, mereka datang dengan sukarela, dengan ikhlas. "Saya orang partai, memobilisasi orang 10 ribu, busnya disediakan, nasi bungkusnya disediakan, memang cost-nya tinggi. Ini malah enggak." Ia melihat sisi positifnya: daripada tawuran, anak-anak muda diajak berzikir, berselawat.

Empat dasawarsa sepeninggal Habib Ali Kwitang (1875-1968), sesuatu yang alamiah terjadi: regenerasi habaib. Se iring dengan perkembangan zaman, pola dakwah dan pendidikan para habib pun banyak berubah. Tapi, dalam kurun sepanjang ini, mungkin ada satu yang tidak banyak berubah: godaan dari para politikus. Habib Abdurrahman al-Habsyi, kini penyelenggara acara hadir tiap Ahad di Kwitang, mengingatkan. "Massa besar pasti jadi incaran, padahal rayuan politik kadang halus, tak terasa," katanya.

Idrus F. Shahab, Harun Mahbub, Ahmad Taufik

http://majalah.tempointeraktif.com//id/arsip/2010/09/13/LU/mbm.20100913.LU134590.id.html

Perjalanan Dakwah Habib Munzir Al-Musawa

Al-Allamah wal Fahamah Sayyidi Syarif Al-Habib Munzir bin Fuad bin Abdurrahman bin Ali bin Abdurrahman bin Ali bin Aqil bin Ahmad bin Abdurrahman bin Umar bin Abdurrahman bin Sulaiman bin Yaasin bin Ahmad Al-musawa bin Muhammad Muqallaf bin Ahmad bin Abubakar Assakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi Alghayur bin Muhammad Faqihil Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali’ Qasim bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Almuhajir bin Isa Arrumiy bin Muhammad Annaqib bin Ali Al Uraidhiy bin Jakfar Asshadiq bin Muhammad Albaqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein Dari Fathimah Azahra Putri Rasul SAW.

Nama beliau Munzir bin Fuad bin Abdurrahman Almusawa, dilahirkan di Cipanas Cianjur Jawa barat, pada hari jum’at 23 februari 1973, bertepatan 19 Muharram 1393H, setelah beliau menyelesaikan sekolah menengah atas, beliau mulai mendalami Ilmu Syariah Islam di Ma’had Assaqafah Al Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri Jakarta Selatan, lalu mengambil kursus bhs.Arab di LPBA Assalafy Jakarta timur, lalu memperdalam lagi Ilmu Syari’ah Islamiyah di Ma’had Al Khairat, Bekasi Timur, kemudian beliau meneruskan untuk lebih mendalami Syari’ah ke Ma’had Darul Musthafa, Tarim Hadhramaut Yaman pada tahun 1994, selama empat tahun, disana beliau mendalami Ilmu Fiqh, Ilmu tafsir Al Qur;an, Ilmu hadits, Ilmu sejarah, Ilmu tauhid, Ilmu tasawuf, mahabbaturrasul saw, Ilmu dakwah, dan ilmu ilmu syariah lainnya.

Habib Munzir Al-Musawa kembali ke Indonesia pada tahun 1998, dan mulai berdakwah, dengan mengunjungi rumah rumah, duduk dan bercengkerama dg mereka, memberi mereka jalan keluar dalam segala permasalahan, lalu atas permintaan mereka maka mulailah Habib Munzir membuka majlis, jumlah hadirin sekitar enam orang, beliau terus berdakwah dengan meyebarkan kelembutan Allah swt, yang membuat hati pendengar sejuk, beliau tidak mencampuri urusan politik, dan selalu mengajarkan tujuan utama kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah swt, bukan berarti harus duduk berdzikir sehari penuh tanpa bekerja dll, tapi justru mewarnai semua gerak gerik kita dengan kehidupan yang Nabawiy, kalau dia ahli politik, maka ia ahli politik yang Nabawiy, kalau konglomerat, maka dia konglomerat yang Nabawiy, pejabat yang Nabawiy, pedagang yang Nabawiy, petani yang Nabawiy, betapa indahnya keadaan ummat apabila seluruh lapisan masyarakat adalah terwarnai dengan kenabawian, sehingga antara golongan miskin, golongan kaya, partai politik, pejabat pemerintahan terjalin persatuan dalam kenabawiyan, inilah Dakwah Nabi Muhammad saw yang hakiki, masing masing dg kesibukannya tapi hati mereka bergabung dg satu kemuliaan, inilah tujuan Nabi saw diutus, untuk membawa rahmat bagi sekalian alam. Majelisnya mengalami pasang surut, awal berdakwah ia memakai kendaraan umum turun naik bus, menggunakan jubah dan surban, serta membawa kitab-kitab. Tak jarang beliau mendapat cemoohan dari orang-orang sekitar. Beliau bahkan pernah tidur di emperan toko ketika mencari murid dan berdakwah. Kini majlis taklim yang diasuhnya setiap malam selasa di Masjid Al-Munawar Pancoran Jakarta Selatan, yang dulu hanya dihadiri tiga sampai enam orang, sudah berjumlah sekitar 10.000 hadirin setiap malam selasa, Habib Munzir sudah membuka puluhan majlis taklim di seputar Jakarta dan sekitarnya, beliau juga membuka majelis di rumahnya setiap malam jum’at bertempat di jalan kemiri cidodol kebayoran, juga sudah membuka majlis di seputar pulau jawa, yaitu:

Jawa barat :

Ujungkulon Banten, Cianjur, Bandung, Majalengka, Subang.

Jawa tengah :

Slawi, Tegal, Purwokerto, Wonosobo, Jogjakarta, Solo, Sukoharjo, Jepara, Semarang,

Jawa timur :

Mojokerto, Malang, Sukorejo, Tretes, Pasuruan, Sidoarjo, Probolinggo.

Bali :

Denpasar, Klungkung, Negara, Karangasem.

NTB

Mataram, Ampenan

Luar Negeri :

Singapura, Johor, Kualalumpur.

Buku-buku yang sering menjadi rujukan beliau di majelisnya antara lain:
kitab As-syifa (Imam Fadliyat), Samailul Muhammadiyah (Imam Tirmidzi), Mukasyifatul Qulub (Imam Ghazali), Tambili Mukhdarim (Imam Sya’rani), Al-Jami’ Ash-Shahih/Shahih Bukhari (Imam Bukhari), Fathul Bari’ fi Syarah Al-Bukhari (Imam Al-Astqalani), serta kitab karangan Imam Al-Haddad dan kitab serta pelajaran yang didapat dari guru beliau Habib Umar bin Hafidh.

Nama Rasulullah SAW sengaja digunakan untuk nama Majelisnya yaitu “Majelis Rasulullah SAW”, agar apa-apa yang dicita-citakan oleh majelis taklim ini tercapai. Sebab beliau berharap, semua jamaahnya bisa meniru dan mencontoh Rasulullah SAW dan menjadikannya sebagai panutan hidup.

Adapun guru-guru beliau antara lain:

Habib Umar bin Hud Al-Athas (cipayung), Habib Aqil bin Ahmad Alaydarus, Habib Umar bin Abdurahman Assegaf, Habib Hud Bagir Al-Athas, di pesantren Al-Khairat beliau belajar kepada Ustadz Al-Habib Nagib bin Syeikh Abu Bakar, dan di Hadramaut beliau belajar kepada Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim (Rubath Darul Mustafa), juga sering hadir di majelisnya Al-Allamah Al-Arifbillah Al-Habib Salim Asy-Syatiri (Rubath Tarim).

Dan yang paling berpengaruh didalam membentuk kepribadian beliau adalah Guru mulia Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim.

Salah satu sanad Guru beliau adalah:

Al-Habib Munzir bin fuad Al-Musawa berguru kepada Guru Mulia Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Musnid Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdulqadir bin Ahmad Assegaf,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdullah Assyatiri,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (simtuddurar),

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdurrahman Al-Masyhur (shohibulfatawa),

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdullah bin Husen bin Thohir,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Umar bin Seggaf Assegaf,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Hamid bin Umar Ba’alawiy,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Habib Al-Hafizh Ahmad bin Zein Al-Habsyi,

Dan beliau berguru kepada Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad (shohiburratib),

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Husein bin Abubakar bin Salim,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Al-Allamah Al-Habib Abubakar bin Salim (fakhrulwujud),

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Syahabuddin,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdurrahman bin Ali (Ainulmukasyifiin),

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Ali bin Abubakar (assakran),

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abubakar bin Abdurrahman Assegaf,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdurrahman Assegaf,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Muhammad Mauladdawilah,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Ali bin Alwi Al-ghayur,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Imam faqihilmuqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawiy,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbath,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Shahib Marbath bin Ali,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Khali’ Qasam bin Alwi,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Alwi bin Muhammad,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad bin Alwi,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Alwi bin Ubaidillah,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa Arrumiy,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Isa Arrumiy bin Muhammad Annaqib,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhiy,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Al-Uraidhiy bin Ja’far Asshadiq,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ja’far Asshadiq bin Muhammad Al-Baqir,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Zainal Abidin Assajjad,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Husein ra,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Ali bin Abi Thalib ra,

Dan beliau berguru kepada Semulia-mulia Guru, Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW, maka sebaik-baik bimbingan guru adalah bimbingan Rasulullah SAW.

Sanad guru beliau sampai kepada Rasulullah SAW, begitu pula nasabnya. Demikian biografi singkat ini dibuat mohon maaf apabila ada kesalahan.

Selasa, 14 September 2010

Cerita Habib Munzir Bin Fuad AlMusawa

"Cerita Habibana Munzir Bin Fuad AlMusawa"

Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh, Kebahagiaan dan Kesejukan Rahmat Nya semoga selalu menaungi hari hari anda.

Saudaraku yg kumuliakan, saya adalah seorang anak yg sangat dimanja oleh ayah saya, ayah saya selalu memanjakan saya lebih dari anaknya yg lain, namun dimasa baligh, justru saya yg putus sekolah, semua kakak saya wisuda, ayah bunda saya bangga pada mereka, dan kecewa pada saya, karena saya malas sekolah, saya lebih senang hadir majelis maulid Almarhum Al Arif billah Alhabib Umar bin Hud Alalttas, dan Majelis taklim kamis sore di empang bogor, masa itu yg mengajar adalah Al Marhum Al Allamah Alhabib Husein bin Abdullah bin Muhsin Alattas dg kajian Fathul Baari.

Sisa hari hari saya adalah bershalawat 1000 siang 1000 malam, zikir beribu kali, dan puasa nabi daud as, dan shalat malam berjam jam, saya pengangguran, dan sangat membuat ayah bunda malu.

ayah saya 10 tahun belajar dan tinggal di Makkah, guru beliau adalah Almarhum Al Allamah Alhabib Alwi Al Malikiy, ayah dari Al Marhum Al Allamah Assayyid Muhammad bin Alwi Al Malikiy, ayah saya juga sekolah di Amerika serikat, dan mengambil gelar sarjana di New york university.

almarhum ayah sangat malu, beliau mumpuni dalam agama dan mumpuni dalam kesuksesan dunia, beliau berkata pada saya : kau ini mau jadi apa?, jika mau agama maka belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai keluar negeri, jika ingin mendalami ilmu dunia maka tuntutlah sampai keluar negeri, namun saranku tuntutlah ilmu agama, aku sudah mendalami keduanya, dan aku tak menemukan keberuntungan apa apa dari kebanggaan orang yg sangat menyanjung negeri barat, walau aku sudah lulusan New York University, tetap aku tidak bisa sukses di dunia kecuali dg kelicikan, saling sikut dalam kerakusan jabatan, dan aku menghindari itu.

maka ayahanda almarhum hidup dalam kesederhanaan di cipanas, cianjur, Puncak. Jawa barat, beliau lebih senang menyendiri dari ibukota, membesarkan anak anaknya, mengajari anak2nya mengaji, ratib, dan shalat berjamaah.

namun saya sangat mengecewakan ayah bunda karena boleh dikatakan : dunia tidak akhiratpun tidak.

namun saya sangat mencintai Rasul saw, menangis merindukan Rasul saw, dan sering dikunjungi Rasul saw dalam mimpi, Rasul saw selalu menghibur saya jika saya sedih, suatu waktu saya mimpi bersimpuh dan memeluk lutut beliau saw, dan berkata wahai Rasulullah saw aku rindu padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal bisa jumpa dg mu.., ataukan matikan aku sekarang, aku tersiksa di dunia ini,,, Rasul saw menepuk bahu saya dan berkata : munzir, tenanglah, sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah jumpa dg ku.., maka saya terbangun..

akhirnya karena ayah pensiun, maka ibunda membangun losmen kecil didepan rumah berupa 5 kamar saja, disewakan pada orang yg baik baik, untuk biaya nafkah, dan saya adalah pelayan losmen ibunda saya.

setiap malam saya jarang tidur, duduk termenung dikursi penerimaan tamu yg cuma meja kecil dan kursi kecil mirip pos satpam, sambil menanti tamu, sambil tafakkur, merenung, melamun, berdzikir, menangis dan shalat malam demikian malam malam saya lewati,

siang hari saya puasa nabi daud as, dan terus dilanda sakit asma yg parah, maka itu semakin membuat ayah bunda kecewa, berkata ibunda saya : kalau kata orang, jika banyak anak, mesti ada satu yg gagal, ibu tak mau percaya pada ucapan itu, tapi apakah ucapan itu kebenaran?.

saya terus menjadi pelayan di losmen itu, menerima tamu, memasang seprei, menyapu kamar, membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan tamu, berupa teh, kopi, air putih, atau nasi goreng buatan ibunda jika dipesan tamu.

sampai semua kakak saya lulus sarjana, saya kemudian tergugah untuk mondok, maka saya pesantren di Hb Umar bin Abdurrahman Assegaf di Bukit duri jakarta selatan, namun hanya dua bulan saja, saya tidak betah dan sakit sakitan karena asma terus kambuh, maka saya pulang.

ayah makin malu, bunda makin sedih, lalu saya prifat saja kursus bahasa arab di kursus bahasa arab assalafi, pimpinan Almarhum Hb Bagir Alattas, ayahanda dari hb Hud alattas yg kini sering hadir di majelis kita di almunawar.

saya harus pulang pergi jakarta cipanas yg saat itu ditempuh dalam 2-3 jam, dg ongkos sendiri, demikian setiap dua kali seminggu, ongkos itu ya dari losmen tsb.

saya selalu hadir maulid di almarhum Al Arif Billah Alhabib Umar bin Hud alattas yg saat itu di cipayung, jika tak ada ongkos maka saya numpang truk dan sering hujan hujanan pula.

sering saya datang ke maulid beliau malam jumat dalam keadaan basah kuyup, dan saya diusir oleh pembantu dirumah beliau, karena karpet tebal dan mahal itu sangat bersih, tak pantas saya yg kotor dan basah menginjaknya, saya terpaksa berdiri saja berteduh dibawah pohon sampai hujan berhenti dan tamu tamu berdatangan, maka saya duduk dil;uar teras saja karena baju basah dan takut dihardik sang penjaga.

saya sering pula ziarah ke luar batang, makam Al Habib husein bin Abubakar Alaydrus, suatu kali saya datang lupa membawa peci, karena datang langsung dari cipanas, maka saya berkata dalam hati, wahai Allah, aku datang sebagai tamu seorang wali Mu, tak beradab jika aku masuk ziarah tanpa peci, tapi uangku pas pasan, dan aku lapar, kalau aku beli peci maka aku tak makan dan ongkos pulangku kurang..,

maka saya memutuskan beli peci berwarna hijau, karena itu yg termurah saat itu di emperan penjual peci, saya membelinya dan masuk berziarah, sambil membaca yaasin utk dihadiahkan pada almarhum, saya menangisi kehidupan saya yg penuh ketidak tentuan, mengecewakan orang tua, dan selalu lari dari sanak kerabat, karena selalu dicemooh, mereka berkata : kakak2mu semua sukses, ayahmu lulusan makkah dan pula new york university, koq anaknya centeng losmen..

maka saya mulai menghindari kerabat, saat lebaranpun saya jarang berani datang, karena akan terus diteror dan dicemooh.

walhasil dalam tangis itu saya juga berkata dalam hati, wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab padamu, hamba yg shalih disisi Allah, pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang..,

lalu dalam saya merenung, datanglah rombongan teman teman saya yg pesantren di Hb Umar bin Abdurrahman Assegaf dg satu mobil, mereka senang jumpa saya, sayapun ditraktir makan, saya langsung teringat ini berkah saya beradab di makam wali Allah..

lalu saya ditanya dg siapa dan mau kemana, saya katakan saya sendiri dan mau pulang ke kerabat ibu saya saja di pasar sawo, kb Nanas Jaksel, mereka berkata : ayo bareng saja, kita antar sampai kebon nanas, maka sayapun semakin bersyukur pada Allah, karena memang ongkos saya tak akan cukup jika pulang ke cipanas, saya sampai larut malam di kediaman bibi dari Ibu saya, di ps sawo kebon nanas, lalu esoknya saya diberi uang cukup untuk pulang, sayapun pulang ke cipanas..

tak lama saya berdoa, wahai Allah, pertemukan saya dg guru dari orang yg paling dicintai Rasul saw, maka tak lama saya masuk pesantren Al Habib Hamid Nagib bin Syeikh Abubakar di Bekasi timur, dan setiap saat mahal qiyam maulid saya menangis dan berdoa pada Allah untuk rindu pada Rasul saw, dan dipertemukan dg guru yg paling dicintai Rasul saw, dalam beberapa bulan saja datanglah Guru Mulia Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Hafidh ke pondok itu, kunjungan pertama beliau yaitu pd 1994.

selepas beliau menyampaikan ceramah, beliau melirik saya dg tajam.., saya hanya menangis memandangi wajah sejuk itu.., lalu saat beliau sudah naik ke mobil bersama almarhum Alhabib Umar maula khela, maka Guru Mulia memanggil Hb Nagib Bin Syeikh Abubakar, Guru mulia berkata bahwa beliau ingin saya dikirim ke Tarim Hadramaut yaman untuk belajar dan menjadi murid beliau,

Guru saya hb Nagib bin syeikh abubakar mengatakan saya sangat belum siap, belum bisa bahasa arab, murid baru dan belum tahu apa apa, mungkin beliau salah pilih..?, maka guru mulia menunjuk saya, itu.. anak muda yg pakai peci hijau itu..!, itu yg saya inginkan.., maka Guru saya hb Nagib memanggil saya utk jumpa beliau, lalu guru mulia bertanya dari dalam mobil yg pintunya masih terbuka : siapa namamu?, dalam bahasa arab tentunya, saya tak bisa menjawab karena tak faham, maka guru saya hb Nagib menjawab : kau ditanya siapa namamu..!, maka saya jawab nama saya, lalu guru mulia tersenyum..

keesokan harinya saya jumpa lagi dg guru mulia di kediaman Almarhum Hb bagir Alattas, saat itu banyak para habaib dan ulama mengajukan anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi murid guru mulia, maka guru mulia mengangguk angguk sambil kebingungan menghadapi serbuan mereka, lalu guru mulia melihat saya dikejauhan, lalu beliau berkata pada almarhum hb umar maula khela : itu.. anak itu.. jangan lupa dicatat.., ia yg pakai peci hijau itu..!,

guru mulia kembali ke Yaman, sayapun langsung ditegur guru saya hb Nagib bin syekh abubakar, seraya berkata : wahai munzir, kau harus siap siap dan bersungguh sungguh, kau sudah diminta berangkat, dan kau tak akan berangkat sebelum siap..

dua bulan kemudian datanglah Almarhum Alhabib Umar maula khela ke pesantren, dan menanyakan saya, alm hb umar maulakhela berkata pada hb nagib : mana itu munzir anaknya hb Fuad almusawa?, dia harus berangkat minggu ini, saya ditugasi untuk memberangkatkannya, maka hb nagib berkata saya belum siap, namun alm hb umar maulakhela dg tegas menjawab : saya tidak mau tahu, namanya sudah tercantum untuk harus berangkat, ini pernintaan AL Habib Umar bin Hafidh, ia harus berangkat dlm dua minggu ini bersama rombongan pertama..

saya persiapkan pasport dll, namun ayah saya keberatan, ia berkata : kau sakit sakitan, kalau kau ke Mekkah ayah tenang, karena banyak teman disana, namun ke hadramaut itu ayah tak ada kenalan, disana negeri tandus, bagaimana kalau kau sakit?, siapa yg menjaminmu..?,

saya pun datang mengadu pd Almarhum Al Arif billah Alhabib Umar bin hud Alattas, beliau sudah sangat sepuh, dan beliau berkata : katakan pada ayahmu, saya yg menjaminmu, berangkatlah..

saya katakan pada ayah saya, maka ayah saya diam, namun hatinya tetap berat untuk mengizinkan saya berangkat, saat saya mesti berangkat ke bandara, ayah saya tak mau melihat wajah saya, beliau buang muka dan hanya memberikan tangannya tanpa mau melihat wajah saya, saya kecewa namun saya dg berat tetap melangkah ke mobil travel yg akan saya naiki, namun saat saya akan naik, terasa ingin berpaling ke belakang, saya lihat nun jauh disana ayah saya berdiri dipagar rumah dg tangis melihat keberangkatan saya..., beliau melambaikan tangan tanda ridho, rupanya bukan beliau tidak ridho, tapi karena saya sangat disayanginya dan dimanjakannya, beliau berat berpisah dg saya, saya berangkat dg airmata sedih..

saya sampai di tarim hadramaut yaman dikediaman guru mulia, beliau mengabsen nama kami, ketika sampai ke nama saya dan beliau memandang saya dan tersenyum indah,

tak lama kemudian terjadi perang yaman utara dan yaman selatan, kami di yaman selatan, pasokan makanan berkurang, makanan sulit, listrik mati, kamipun harus berjalan kaki kemana mana menempuh jalan 3-4km untuk taklim karena biasanya dg mobil mobil milik guru mulia namun dimasa perang pasokan bensin sangat minim

suatu hari saya dilirik oleh guru mulia dan berkata : Namamu Munzir.. (munzir = pemberi peringatan), saya mengangguk, lalu beliau berkata lagi : kau akan memberi peringatan pada jamaahmu kelak...!.

maka saya tercenung.., dan terngiang ngiang ucapan beliau : kau akan memberi peringatan pada jamaahmu kelak...?, saya akan punya jamaah?, saya miskin begini bahkan untuk mencuci bajupun tak punya uang untuk beli sabun cuci..

saya mau mencucikan baju teman saya dg upah agar saya kebagian sabun cucinya, malah saya dihardik : cucianmu tidak bersih...!, orang lain saja yg mencuci baju ini..

maka saya terpaksa mencuci dari air bekas mengalirnya bekas mereka mencuci, air sabun cuci yg mengalir itulah yg saya pakai mencuci baju saya

hari demi hari guru mulia makin sibuk, maka saya mulai berkhidmat pada beliau, dan lebih memilih membantu segala permasalahan santri, makanan mereka, minuman, tempat menginap dan segala masalah rumah tangga santri, saya tinggalkan pelajaran demi bakti pada guru mulia membantu beliau, dengan itu saya lebih sering jumpa beliau.

[i]2 tahun di yaman ayah saya sakit, dan telepon, beliau berkata : kapan kau pulang wahai anakku..?, aku rindu..?

saya jawab : dua tahun lagi insya Allah ayah..

ayah menjawab dg sedih ditelepon.. duh.. masih lama sekali.., telepon ditutup, 3 hari kemudian ayah saya wafat..

saya menangis sedih, sungguh kalau saya tahu bahwa saat saya pamitan itu adalah terakhir kali jumpa dg beliau.. dan beliau buang muka saat saya mencium tangan beliau, namun beliau rupanya masih mengikuti saya, keluar dari kamar, keluar dari rumah, dan berdiri di pintu pagar halaman rumah sambil melambaikan tangan sambil mengalirkan airmata.., duhai,, kalau saya tahu itulah terakhir kali saya melihat beliau,., rahimahullah..[/i]

tak lama saya kembali ke indonesia, tepatnya pada 1998, mulai dakwah sendiri di cipanas, namun kurang berkembang, maka say mulai dakwah di jakarta, saya tinggal dan menginap berpindah pindah dari rumah kerumah murid sekaligus teman saya, majelis malam selasa saat itu masih berpindah pindah dari rumah kerumah, mereka murid2 yg lebih tua dari saya, dan mereka kebanyakan dari kalangan awam, maka walau saya sudah duduk untuk mengajar, mereka belum datang, saya menanti, setibanya mereka yg cuma belasan saja, mereka berkata : nyantai dulu ya bib, ngerokok dulu ya, ngopi dulu ya, saya terpaksa menanti sampai mereka puas, baru mulai maulid dhiya'ullami.., jamaah makin banyak, mulai tak cukup dirumah rumah, maka pindah pindah dari musholla ke musholla,. jamaah makin banyak, maka tak cukup pula musholla, mulai berpindah pindah dari masjid ke masjid,

lalu saya membuka majelis dihari lainnya, dan malam selasa mulai ditetapkan di masjid almunawar, saat itu baru seperempat masjid saja, saya berkata : jamaah akan semakin banyak, nanti akan setengah masjid ini, lalu akan memenuhi masjid ini, lalu akan sampai keluar masjid insya Allah.. jamaah mengaminkan..

mulailah dibutuhkan kop surat, untuk undangan dlsb, maka majelis belum diberi nama, dan saya merasa majelis dan dakwah tak butuh nama, mereka sarankan majelis hb munzir saja, saya menolak, ya sudah, majelis rasulullah saw saja,

kini jamaah Majelis Rasulullah sudah jutaan, di Jabodetabek, jawa barat, banten, jawa tengah, jawa timur, bali, mataram, kalimantan, sulawesi, papua, singapura, malaysia, bahkan sampai ke Jepang, dan salah satunya kemarin hadir di majelis haul badr kita di monas, yaitu Profesor dari Jepang yg menjadi dosen disana, dia datang keindonesia dan mempelajari bidang sosial, namun kedatangannya juga karena sangat ingin jumpa dg saya, karena ia pengunjung setia web ini, khususnya yg versi english..

sungguh agung anugerah Allah swt pada orang yg mencintai Rasulullah saw, yg merindukan Rasulullah saw...

itulah awal mula hamba pendosa ini sampai majelis ini demikian besar, usia saya kini 38 tahun jika dg perhitungan hijriah, dan 37 th jika dg perhitungan masehi, saya lahir pd Jumat pagi 19 Muharram 1393 H, atau 23 februari 1973 M.

perjanjian Jumpa dg Rasul saw adalah sblm usia saya tepat 40 tahun, kini sudah 1431 H,

mungkin sblm sempurna 19 Muharram 1433 H saya sudah jumpa dg Rasul saw, namun apakah Allah swt akan menambah usia pendosa ini..?

Wallahu a'lam

Salam rindu terdalam untuk anda.

http://www.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&catid=9&id=25849#25849

Do'akan selalu untuk kesembuhan beliau .

Random Post

Web Counter
Twitter Khoiruddin_net Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More